Memang benar adanya, hampir seluruh waktu, kita habiskan untuk meniru orang lain. Artis, olahragawan, musisi, selebriti, dlsb, segala sesuatu yang ada pada mereka sangat menyilaukan mata. Berbagai gaya hidup impor kebudayaan luar; rasta, punk, reggae, hippies, grunge, dlsb. kita telan mentah-mentah tanpa tahu esensi yang sebenarnya atau segala sesuatu yang melatar belakangi kemunculannya. Tak hayal, remaja kita pun sibuk berdandan dengan simbol-simbol kebudayaan tersebut kemudian dengan bangganya menjadikan identitas diri. Alhasil, sekolah, kampus, mall, restoran, warung, hingga jalanan pedesaan menjadi catwalk untuk memamerkan pernak-pernik tersebut.
Segala macam aksesoris berusaha diadakan dan dikenakan seolah ingin menunjukkan ini aku ... seorang punker, rasta, reggae, metal, rocker, atau ini lho aku, aku yang taat dengan agamaku, ini lho aku yang ga gaptek. Berbagai macam gadget pun ditenteng, dari smartphone, tab, laptop, kamera, hingga blackberry yang terkadang justru tidak terlalu diperlukan atau tidak dioptimalkan atau lebih buruknya tidak ada pulsanya. Penghasilan terkadang justru habis untuk mencicil kendaraan bermotor, membeli pulsa balckberry atau smartphone, berlama-lama merebonding rambut di salon, memutihkan diri dengan berbagai krim pemutih yang sangat mahal maupun rela membayar mahal di tempat-tempat perawatan. Di kampus, mahasiswa lebih bangga menenteng produk-produk bermerk entah palsu atau asli ketimbang membawa buku yang bisa dibaca saat senggang.
Inilah sepenggal ilustrasi dari salah satu budaya kita, budaya media. Ilustrasi tentang betapa hebatnya media memanipulasi, menyihir, menjadikan kita bukan diri kita namun masih merasa itu diri kita. Media menjadikan budaya luar menjadi segala-galanya, dan menjadikan kearifan lokal berkesan jadul dan ketinggaalan zaman. Iklan, sinetron, film, majalah, tabloid, dlsb. telah menjadi pedoman hidup yang telah menyingkirkan kebudayaan kita. Media telah menjadi pedoman dalam setiap aspek hidup kita.