Rabu, 03 Juli 2013

Media; pedoman hidupku

Memang benar adanya, hampir seluruh waktu, kita habiskan untuk meniru orang lain. Artis, olahragawan, musisi, selebriti, dlsb, segala sesuatu yang ada pada mereka sangat menyilaukan mata. Berbagai gaya hidup impor kebudayaan luar; rasta, punk, reggae, hippies, grunge, dlsb. kita telan mentah-mentah tanpa tahu esensi yang sebenarnya atau segala sesuatu yang melatar belakangi kemunculannya. Tak hayal, remaja kita pun sibuk berdandan dengan simbol-simbol kebudayaan tersebut kemudian dengan bangganya menjadikan identitas diri. Alhasil, sekolah, kampus, mall, restoran, warung, hingga jalanan pedesaan menjadi catwalk untuk memamerkan pernak-pernik tersebut.

Segala macam aksesoris berusaha diadakan dan dikenakan seolah ingin menunjukkan ini aku ... seorang punker, rasta, reggae, metal, rocker, atau ini lho aku, aku yang taat dengan agamaku, ini lho aku yang ga gaptek. Berbagai macam gadget pun ditenteng, dari smartphone, tab, laptop, kamera, hingga blackberry yang terkadang justru tidak terlalu diperlukan atau tidak dioptimalkan atau lebih buruknya tidak ada pulsanya. Penghasilan terkadang justru habis untuk mencicil kendaraan bermotor, membeli pulsa balckberry atau smartphone, berlama-lama merebonding rambut di salon, memutihkan diri dengan berbagai krim pemutih yang sangat mahal maupun rela membayar mahal di tempat-tempat perawatan. Di kampus, mahasiswa lebih bangga menenteng produk-produk bermerk entah palsu atau asli ketimbang membawa buku yang bisa dibaca saat senggang.

Inilah sepenggal ilustrasi dari salah satu budaya kita, budaya media. Ilustrasi tentang betapa hebatnya media memanipulasi, menyihir, menjadikan kita bukan diri kita namun masih merasa itu diri kita. Media menjadikan budaya luar menjadi segala-galanya, dan menjadikan kearifan lokal berkesan jadul dan ketinggaalan zaman. Iklan, sinetron, film, majalah, tabloid, dlsb. telah menjadi pedoman hidup yang telah menyingkirkan kebudayaan kita. Media telah menjadi pedoman dalam setiap aspek hidup kita.

Sabtu, 22 Juni 2013

Lombok


aku, kamu, dia, kami, dan mereka

Kawan ... yuk keluar bersamaku, tinggalkan sejenak rumah yang selama ini kamu anggap paling nyaman. Di luar sana, begitu banyak hal yang dapat kamu bagi, begitu banyak hal yang dapat kamu temui lebih dari yang selama ini telah kamu lihat melalui sudut sempit jendela kamarmu. Di luar sana, akan ada begitu banyak senyum yang akan menyambutmu sekaligus mengajari aku dan dirimu untuk belajar memanusiakan manusia.

Senin, 06 Mei 2013

3x3

Panasnya Jogja, seperangkat rencana berwujud mimpi meresonansi ruang 3x3. Segudang dogma yang tersekripta dalam tumpukan kertas menunggu dibuka. Masih? iya masih, masih dalam satu koridor. Masih dalam satu kekhawatiran tapi bukan pesimistis. Berani? tidak juga, karena ketakutan menurutku sinyal untuk berhati-hati. Penakut? iya mungkin, karena pada hal itu sesekali aku bisa bersembunyi.Tapi tidak, aku tidak seperti itu. Aku tidak seperti yang aku kira, meskipun aku terlalu sering bergurau dengan waktu.